Buku Sejarah Kebudayaan Indonesia (SKI) mengulas tahapan perkembangan kebudayaan Indonesia pada setiap periode. Perencanaan peluncuran buku ini dijadwalkan berbarengan dengan buku Sejarah Nasional Indonesia. Adapun waktunya masih menunggu konfirmasi kesiapan dari Presiden SBY yang akan didampingi oleh Menbudpar. Acara peluncuran buku ini sedianya akan diisi dengan pembahasan mengenai isi buku.
Pembahas
- Roger Tol, Direktur KITLV Jakarta
- Budayawan Dr. Muji Sutrisno
- Penulis Gunawan Muhammad
- Roger Tol, Direktur KITLV Jakarta
- Budayawan Dr. Muji Sutrisno
- Penulis Gunawan Muhammad
Moderator
Dr. Mukhlis PaEni, Sejarawan, Antropolog, Ketua MSI, dan Ketua Lembaga Sensor Film.
Dr. Mukhlis PaEni, Sejarawan, Antropolog, Ketua MSI, dan Ketua Lembaga Sensor Film.
Team Redaksi:
- Endjat Djaenuderadjat (Direktur Geografi Sejarah)
- Triana Wulandari (Kasubdit Perkembangan Wilayah Sejarah)
- Dwiana Hercahyani (Kasi Perbatasan Wilayah)
- Tirmizi
- Dewaki Kramadibrata (Staf Pengajar FIB UI).
- Endjat Djaenuderadjat (Direktur Geografi Sejarah)
- Triana Wulandari (Kasubdit Perkembangan Wilayah Sejarah)
- Dwiana Hercahyani (Kasi Perbatasan Wilayah)
- Tirmizi
- Dewaki Kramadibrata (Staf Pengajar FIB UI).
Ulasan singkat tentang Buku Sejarah Kebudayaan Indonesia.
1. Religi dan Falsafah
Sejarah Kebudayaan Indonesia (SKI) merupakan bahasan tahapan perkembangan kebudayaan Indonesia pada setiap periode. Kawasan Indonesia mempunyai banyak pulau yang dipisahkan oleh laut dan selat memiliki sejarah perkembangan budaya yang tidak seragam. Daerah yang berada dalam satu wilayah pun kadang mengalami perbedaan perkembangan kebudayaan. Beberapa penyebabnya adalah (1) perbedaan intensitas budaya asing yang masuk ke masing-masing daerah dan (2) perbedaan periode (lama waktu) intervensi budaya luar terhadap budaya lokal daerah. Dua faktor utama tersebut berperan dalam membentuk budaya Indonesia saat ini. Dalam perkembangannya, ada unsur yang melatari perkembangan unsur lainnya, yaitu unsur Religi. Unsur tersebut melahirkan pandangan hidup. Buku SKI jilid I ini membahas mengenai religi dan falsafah yang berkembang di Indonesia. Pembahasan tersebut dikemas secara ringkas sehingga dapat diapresiasi oleh pembaca.
Religi selalu hadir dalam bentuk apa pun di setiap kebudayaan etnik di dunia. Tak terkecuali etnik di Nusantara. Bentuk Religi dalam wujudnya yang paling pertama adalah menghormati kekuatan yang mengisi ruang alam. Kekuatan tersebut mencakup kekuatan negatif maupun positif. Tak bisa disangkal bahwa kedua kekuatan tersebut hadir dalam kehidupan manusia. Kekuatan tidak berbentuk dan dapat menghuni berbagai ruang seperti bebatuan, sungai, pepohonan atau lembah.
Saat peradaban mulai berkembang, religi menyesuaikan bentuknya dengan pemikiran manusia. Ketua kelompok dipilih oleh anggotanya berdasarkan konsep Primus Interpares (yaitu orang yang paling unggul di antara para unggulan). Selama menjadi pemimpin, ketua kelompok diharuskan sanggup menyelenggarakan pesta jasa (fiest of merit) pada seluruh anggotanya. Pesta tersebut bisa berupa pendirian monumen untuk mengenangnya. Monumen tersebut biasanya berbentuk punden berundak, dengan menhir yang menjulang tegak di atasnya. Jika meninggal, roh ketua kelompok akan mendiami puncak-puncak gunung bersama roh leluhur. Roh ketua kelompok dapat dipanggil sewaktu-waktu rakyatnya memerlukan pertolongan dengan memasuki menhir yang menjadi simbolitas. Dengan demikian lahirlah Religi Pemujaan terhadap Arwah Leluhur (ancestor worship) di Nusantara.
Demikianlah ketika agama besar dunia hadir ke kehidupan penduduk di kepulauan Nusantara pada awal tarikh Masehi. Dalam bidang religi, nenek moyang kita sudah mempunyai dasar yang baik, yaitu sudah bisa mengidentifikasikan kekuatan supranatural. Mereka sudah mampu mengatur warganya sesuai dengan pandangan hidup terhadap kekuatan supranatural. Mereka juga mampu menciptakan kesenian yang didedikasikan untuk kekuatan supranatural, dan masih banyak lagi bentuk apresiasi lainnya untuk alam supranatural. Agama Hindu dan Buddha yang diterima secara luas di Jawa, Sumatera, Bali, dan sedikit di Kalimantan sebenarnya merupakan pembungkus dari ritual pemujaan terhadap arwah leluhur. Agama Islam, Kristen, Katholik yang datang menyusul mendapatkan sambutan yang baik dan berkembang dengan subur di beberapa wilayah berbeda Nusantara. Perbedaan pendalaman agama-agama besar itu terjadi karena akulturasi dengan lapisan kebudayaan yang sudah mengendap sebelumnya. Hingga dewasa ini kehidupan religi di Indonesia berjalan dengan baik, rasa toleransi, dan melanjutkan tradisi tetap hidup, di antara etnik-etnik besar atau pun kecil.
2. Masa Kejayaan Hindu-Buddha
Pada masa kekuasaan Hindu-Buddha, masyarakat bisa mengangkat negeri ini hingga mencapai kejayaan. Masyarakat saat ini masih merasa ikut memiliki peninggalan peradaban tersebut, misalnya peninggalan kerajaan Sriwijaya atau Mataram Kuno. Peninggalan tersebut rupanya bisa dimanfaatkan menjadi sumber penghidupan masyarakat saat ini. Wisatawan berdatangan untuk melihat peninggalan sejarah yang dijadikan sebagai objek wisata, mengagumi kejayaan masa lalu. Hal itu membuktikan bahwa sistem sosial masyarakat di masa lalu tidaklah buruk, bahkan mereka mampu membangun karya monumental yang membanggakan.
Masa kejayaan Islam merupakan kebanggaan bagi sebagian masyarakat. Hal itu ditimbulkan dari anggapan bahwa keberhasilan penyebar agama Islam mampu menanamkan kekuasaan di Nusantara. Masyarakat yang tadinya tidak beragama / kafir, bisa diubah menjadi masyarakat yang bermartabat dan agamis. Agama Islam menjadi rujukan pembuatan tata nilai atau seluruh tindakan sosial di Nusantara.
Beberapa kesultanan didirikan oleh bangsa Arab atau setidaknya mengadopsi nama-nama Arab yang menandakan mereka adalah Islam. Istilah “sulthan” menjadi sebutan bagi penguasa di berbagai kerajaan kecil yang mampu bertahan. Pertikaian antarkelompok mewarnai kerajaan-kerajaan Islam. Di Aceh, pengikut Hamzah Fansyuri diburu dan seluruh buku karangan Hamzah Fansyuri pun dibakar. Pengikut Ar Raniri, orang Arab dari Kerala, membantu mempertahankan kelangsungan Islam di Aceh.
Penyebar Islam di Jawa kebanyakan merujuk pada satu dewan wali yang dikenal dengan Walisongo. Beberapa anggotanya seperti Sunan Kalijogo, Sunan Kudus, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, kyai Pandan Aran masih menjadi tokoh yang sangat dikagumi hingga masa kini. Di Sulawesi ada kesan khusus pada satu tokoh Islam karena dianggap sebagai simbol perlawanan pada kaum kafir, orang Belanda, yaitu Syeh Yusuf yang diasingkan ke Afrika Selatan.
Masyarakat Islam Indonesia pada masa kini belum berhasil menghasilkan sesuatu yang bermakna. Mungkin satu-satunya peninggalan kerajaan Islam yang tersisa adalah “Serat Centhini di Jawa”, yang berupa sebuah ensiklopedi yang cukup tebal. Serat itu mungkin hanya tertandingi oleh “La Galigo” dari Sulawesi Selatan yang mungkin dibuat pada masa Kerajaan Sawungaling. Masyarakat saat ini tidak mampu bersatu untuk menciptakan karya-karya monumental seperti masa dahulu.
Masa pendudukan Belanda di Indonesia merupakan masa-masa paling gelap. Bangsa Indonesia sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk berkembang sebagai suatu bangsa yang mandiri. Kita hanya bisa mengagumi bagaimana bangsa Jepang mampu bertahan dan melakukan restorasi Meiji yang terkenal sehingga menyejajarkan kedudukan Jepang dengan bangsa-bangsa Barat.
Selanjutnya, orang-orang yang digolongkan ke kelompok ‘abangan’ ini mampu melahirkan ide-ide cemerlang untuk bangsa. Kita semua mengenal nama-nama seperti Tan Malaka, Douwes Dekker, atau bahkan Bung Karno. Tokoh-tokoh tersebut telah merintis jalur ke arah kemerdekaan dan memungkinkan pembebasan bangsa ini dari segala bentuk penjajahan baik fisik, ekonomi, dan mental spiritual.
Sejak 1945, setelah Jepang menyerah pada sekutu, bangsa Indonesia merasa bebas dan bersatu mendirikan negara Indonesia. Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila menjadi landasan falsafah bangsa.
Dari perjalanan sejarah kita, terlihat jelas ada masa-masa di mana kita mampu membuat prestasi yang luar biasa. Tetapi mungkin ada suatu pertanyaan besar, di mana salahnya bangsa ini? Mampukah kita menghasilkan monumen bersejarah seperti Borobudur atau kita hanya mampu membuat monumen-monumen impian?